OPINI - Anak-anak merupakan kelompok yang paling rentan terhadap kejahatan cyber di era digital yang semakin berkembang. Di Indonesia, undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dibuat salah satunya diperuntukkan melindungi anak-anak dari berbagai jenis kejahatan yang terjadi di internet.
Tujuan UU ITE yang tertuang dalam pasal 3 UU ITE Nomor 11 Tahun 2008 adalah memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara Teknologi Informasi.
Hal ini berarti UU ITE hadir untuk mengatur dan memberikan kepastian hukum dalam transaksi elektronik serta melindungi masyarakat dari penyalahgunaan teknologi informasi. Salah satu fokus utama dari UU ITE adalah perlindungan terhadap data pribadi dan informasi yang dapat disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Dalam konteks perlindungan anak, UU ITE memberikan landasan hukum untuk menindak pelaku kejahatan cyber yang menargetkan anak-anak, seperti penculikan data, eksploitasi seksual, dan perundungan cyber.
Berdasarkan data dari KPAI tahun 2023 pada kluster Perlindungan Khusus Anak (PKA), anak yang menjadi korban pornografi dan cyber crime sejumlah 31 kasus atau 1, 7 %, anak yang menjadi korban stigmatisasi atau pelabelan (bullyan) sejumlah 7 kasus atau 0, 4 %.
Lebih lanjut data KPAI ditemukan Data Kasus Perlindungan Anak dari Media Tahun 2023 terdapat 912 kasus. Angka ini merupakan representatif kasus yang terlapor(https://bankdata.kpai.go.id/tabulasi-data/data-kasus-perlindungan-anak-dari-pengaduan-ke-kpai-tahun-2023), namun kasus yang terjadi pada anak khususnya pornografi dan cyber crime hanyalah fenomena gunung es di negara kita.
Beberapa faktor psikologis, social dan teknis yang menyebabkan anak-anak enggan melaporkan kejadian bullyan, kekerasan, kejahatan seksual (pornografi) diantaranya :
Rasa Takut dan kurang percaya diri.
Anak-anak takut karena diancam oleh pelaku bullyan di internet atau penyebaran informasi pribadi dengan menyebar data pribadi, foto, atau video sensitif jika korban melaporkan serta perasaan takut dimarahi orang tua karena menggunakan internet untuk konten yang tidak sesuai dan mudah berinteraksi dan percaya pada orang asing melalui internet.
Anak-anak yang menjadi korban merasa malu dan tertekan terutama dalam kasus seperti eksploitasi seksual online, penyebaran foto/video pribadi, atau sextortion (pemerasan berbasis konten seksual). Stigma sosial terhadap kasus eksploitasi seksual, juga membuat anak enggan berbicara.
Baca juga:
Gamawan Fauzi: Semua Ada Akhirnya
|
Jika pelaku adalah teman sebaya atau seseorang yang dikenal di media sosial, korban anak merasa sulit untuk melaporkan karena takut kehilangan hubungan sosial atau diintimidasi lebih lanjut. Anak-anak merasa sendirian dalam menghadapi masalah ini, terutama di lingkungan keluarga atau teman yang tidak mendukung dan kurang paham tentang kejahatan dunia maya.
Ketergantungan pada teknologi dan rendahnya kesadaran privasi
Anak-anak yang mengalami ketergantungan gadget dan media sosial cenderung tidak melaporkan kasus yang menimpanya karena takut kehilangan akses ke perangkat atau media sosial mereka terutama jika orang tua memutuskan untuk membatasi atau melarang penggunaan internet.
Selain itu kurangnya edukasi keamanan digital dan rendahnya kesadaran privasi pada anak-anak untuk menjaga akun online mereka sehingga tidak memproteksi data pribadi atau akun online mereka. Anak kurang menyadari bahwa mereka menjadi korban cybercrime, terutama jika kejahatan tersebut melibatkan manipulasi emosional atau eksploitasi yang tersamar, selain itu anak-anak tidak mengetahui bahwa ada aturan hukum melindungi mereka dari kejahatan cybercrime dan bagaimana cara melaporkannya.
Minimnya Dukungan Lingkungan
Anak-anak yang berada di lingkungan yang toxic sering merasa sendirian dalam menghadapi masalah cybercrime, terutama jika lingkungan keluarga atau teman tidak mendukung atau kurang paham tentang kejahatan dunia maya.
Kurangnya pemahaman orang tua, guru dan masyarakat di lingkungan sekitar terhadap cybercrime yang mengancam anak-anak kita cenderung membuat kasus cybercrime terhadap anak tertutupi.
Perlindungan Hukum dalam UU ITE
UU ITE memberikan landasan hukum untuk menindak berbagai bentuk kejahatan cyber yang dapat merugikan anak-anak, seperti:
Konten Ilegal: Pasal 27 ayat (1) UU ITE melarang distribusi konten yang melanggar kesusilaan, yang dapat mencakup konten pornografi yang ditujukan atau dapat diakses oleh anak-anak.
Pencemaran Nama Baik dan Penghinaan: Pasal 27 ayat (3) mengatur larangan mendistribusikan konten yang mengandung penghinaan atau pencemaran nama baik, yang relevan dalam kasus cyberbullying terhadap anak.
Baca juga:
Tony Rosyid: Pilgub di IKN Memanas
|
Penipuan dan Pemerasan: Pasal 28 ayat (1) melarang penyebaran berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen, yang dapat melindungi anak dari penipuan daring.
Pasal-pasal tersebut adalah pasal yang mengatur tentang larangan penyebaran konten yang merugikan, termasuk konten yang berpotensi membahayakan anak-anak.
Dengan adanya ketentuan ini, pihak berwenang dapat mengambil tindakan hukum terhadap individu atau kelompok yang menyebarkan konten negatif yang dapat mempengaruhi kesehatan mental dan fisik anak-anak.
Selain itu, UU ITE juga memberikan kewenangan kepada penyidik untuk melakukan penyelidikan terhadap kasus-kasus kejahatan cyber yang melibatkan anak-anak, sehingga diharapkan dapat mempercepat proses penegakan hukum Peran Pemerintah dan Masyarakat.
UU ITE memiliki potensi besar dalam melindungi anak-anak dari kejahatan cyber, namun masih terdapat beberapa tantangan dalam implementasinya. Salah satunya adalah kurangnya sosialisasi untuk memberi pemahaman kepada masyarakat, termasuk orang tua dan anak-anak mengenai risiko yang ada di dunia maya.
Banyak orang tua yang belum sepenuhnya menyadari pentingnya pengawasan terhadap aktivitas online anak-anak mereka. Namun demikian saat ini pemerintah telah mengambil langkah-langkah untuk melindungi anak-anak di dunia maya, termasuk:
Edukasi dan Literasi Digital: Meningkatkan kesadaran dan pemahaman anak-anak serta orang tua tentang risiko dan cara aman menggunakan internet.
Pengawasan Konten: Bekerja sama dengan penyedia layanan internet untuk memblokir konten yang berbahaya bagi anak-anak.
Pelaporan dan Penegakan Hukum: Menyediakan saluran pelaporan bagi masyarakat untuk melaporkan kejahatan cyber yang melibatkan anak dan menindaklanjutinya sesuai hukum yang berlaku.
Tantangan dan Kesenjangan
Meskipun kerangka hukum telah dibuat, tetapi tantangan dalam implementasi UU ITE masih ada, seperti:
Kurangnya Spesifikasi dalam UU ITE
UU ITE tidak secara spesifik mengatur perlindungan anak dalam konteks cyber, sehingga diperlukan interpretasi dan penerapan yang tepat dalam kasus yang melibatkan anak.
Perkembangan Teknologi yang Cepat
Perkembangan teknologi yang pesat menuntut pembaruan regulasi dan pendekatan yang berkelanjutan untuk memastikan perlindungan anak tetap efektif.
Peningkatan Sumber Daya Manusia
Diperlukan peningkatan sumber daya manusia baik orang tua, masyarakat, aparat penegak hukum dan pemerintah terhadap perkembangan teknologi informasi dan kejahatan cyber yang terdapat didalamya.
Sehingga kita mampu mengedukasi anak-anak kita bagaimana menggunakan teknologi informasi secara bijak dan cepat tanggap dalam memproteksi dan melakukan perlindungan hukum terhadap kejahatan cybercrime terhadap anak.
Penulis: Saribulan
Mahasiswa Ilmu Hukum
Institut Ilmu Sosial dan Bisnis Andi Sapada